Emang ada hubungannya? Begitu mungkin pertanyaan yang terlintas di kepalamu. Saya kira juga demikian. Namun, di dalam bukunya Goodbye Things, Hidup Minimalis Ala Orang Jepang, Fumio Sasaki, sang penulis menceritakan bagaimana perjalanannya menjadi seorang minimalis, hidup dengan sedikit barang telah mengubah hidupnya.
Di buku tersebut, ia mengisahkan bagaimana kehidupan maksimalis yang ia jalani dahulu, hidup dengan begitu banyak barang dan benda telah membuatnya tidak bahagia.
Benda-benda yang ia miliki agar ia bisa bahagia ternyata tidak melakukan tugasnya. Alih-alih, semakin lama, semakin tak jelas pula siapa yang menjadi tuannya.
Saya baru saja selesai membaca buku ini kira-kira seminggu yang lalu.
Bila saya diminta untuk mendeskripsikan buku ini dalam satu kalimat, maka kalimat itu adalah: Filosofis dan Praktis.
Buku yang mengisahkan proses yang dilalui oleh Fumio Sasaki untuk menjadi minimalis ini layak dibaca oleh orang-orang yang selama ini mengukur kebahagiaan dari seberapa banyak barang yang mereka miliki. Salah satunya…saya.
Selama ini saya mengenal hidup minimalis dari blog The Minimalists yang dikelola dua sahabat Joshua Field Millburn dan Ryan Nicodemus.
Ceritanya, beberapa waktu lalu ketika saya dan keluarga sedang berjalan-jalan di salah satu mall di Surabaya, kami mampir ke Gramedia. Iseng-iseng, saya coba cari buku dengan kata kunci: minimalis.
Hasil pencarian tersebut membawa saya ke dua buah buku. Buku pertama adalah Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay dan buku Goodbye Things oleh Fumio Sasaki.
Nama Francine Jay a.k.a Miss Minimalist bukan nama yang asing, karena ia disebut beberapa kali di esai maupun podcast The Minimalists. Justru, Fumio Sasaki ini yang saya nggak pernah dengar sebelumnya.
Jujur, alasan saya lebih memilih buku dari Fumio Sasaki pun karena buku tersebut harganya lebih miring 10 ribu rupiah. Pikir saya, toh lain kali bisa beli kalau memang masih berminat.
Sampai di rumah, saya mulai quick screening isi buku tersebut. Di halaman-halaman awal, Sasaki menampilkan beberapa foto huniannya sebelum dan setelah menjadi minimalis, dan beberapa penampakan rumah beberapa minimalis lainnya.
“Hmm…menarik,” gumam saya.
Lembar demi lembar saya mulai baca dan saya terkejut betapa praktis isi buku ini untuk saya terapkan.
- Jika ingin mulai membuang, mulailah dengan benda yang memang itu sampah. Di kasus saya, toples kaleng kue yang isinya sudah mau habis. Jadi, saya pindah ke tempat lain sementara toples kaleng itu saya buang ke tempat sampah. Sederhana ya? Ya mungkin terdengar sederhana, bagaimana sebuah sampah tak kunjung dibuang setelah hampir sebulan
- Jika ingin memperbaiki hubungan dengan pasangan, berkomunikasilah. Pas banget ketika baca bagian ini, pas saya baru saja bertengkar dengan istri saya. Dan tanpa pikir panjang, buku saya letakkan dan saya bicara dengan istri saya. Dan….it works.
- Benda bisa bicara. Duh serem ya? Tenang, yang dimaksud di sini adalah ketika kita memiliki banyak barang, barang-barang tersebut seperti terus memanggil kita. Mereka meminta perhatian kita agar kita merawat benda-benda tersebut. Hal pertama yang saya pikirkan adalah salah satu episode di film dewasa dalam kemasan anak-anak, Spongebob Squarepants, Money Talks. Diceritakan, Tuan Krab yang gemar menyimpan uang dan menganggap uang sebagai sahabatnya justru mendapati kenyataan kalau uang-uang itu ternyata tidak suka bila hanya disimpan di dalam brankas, mereka ingin digunakan. Sama halnya dengan koleksi baju, CD, atau piringan hitam yang menumpuk di lemari kita. Mereka juga ingin ‘berguna’ bagi tuannya, bukan sekedar disimpan.
Untuk siapa buku ini?
Buku tulisan Fumio Sasaki ini saya rasa cocok dibaca siapa pun yang menghendaki kehidupan yang lebih sederhana, bebas, dan dinamis. Resep-resep yang ada di tiap bagian dalam Goodbye Things, merupakan resep sederhana yang bisa segera dipraktekkan setelah kita selesai membaca satu bagian.
Buku ini memberikan inspirasi dan tips praktis. Saya tidak menyarankan kamu melakukan semua yang diajarkan di buku ini, tapi kamu bisa mulai dengan langkah kecil setiap selesai membaca sebagian buku ini.
Lagipula, perubahan hanya akan terjadi bila kita melakukan sesuatu bukan sekedar mengetahui apa yang harus dilakukan bukan?
Lewat bukunya, Fumio Sasaki secara gamblang menyatakan bahwa ia adalah penggemar berat produk-produk Apple seperti IPhone dan Macbook Air. Kesederhanaan dari produk-produk tersebut menurutnya cocok dengan filosofi hidup minimalis.
Saya setuju. Namun, hidup minimalis adalah hidup yang tidak berfokus pada benda, tapi kehidupan itu sendiri.
Artinya, kalau kamu tertarik dengan hidup minimalis atau mencoba menjadi seorang minimalis, tidak berarti kamu harus mengganti gadget-mu dengan Iphone atau Macbook. Bukan itu intinya.
Yang terpenting adalah, setelah kamu selesai dengan buku ini, kamu bisa memilah-milah benda-benda apa saja yang penting dan tidak penting buatmu. Mana yang harus disimpan dan mana yang perlu disingkirkan.
Menjadi minimalis bukan tentang memiliki sesedikit mungkin, melainkan soal menjalani kehidupan yang penuh arti dengan sedikit barang.
Saya baru selesai membaca buku ini sekali. Namun, saya rasa saya masih perlu membaca ulang beberapa kali lagi, mencoba praktek, dan belajar darinya.
Dari skala 1–10, saya memberikan nilai 9 untuk buku ini dan saya sarankan kamu juga membaca buku ini. Dan tentu saja, mengaplikasikan apa yang kamu pelajari darinya.
Aslinya di : https://www.primachandra.com.