Menjadi Orang Tua Yang Lebih Baik….Emang Bisa?

Prima
4 min readDec 24, 2020

Kemarin, tanggal 22 Desember, lini masa media sosial saya penuh dengan postingan Selamat Hari Ibu. Mulai Facebook hingga Whatsapp.

Ada yang memposting foto ibu atau istri mereka, foto berdua dengan sang ibu, hingga sekedar nge-forward postingan tentang hari ibu.

Namun, di saat seluruh dunia (ya minimal, yang ada di media sosial saya) berlomba-lomba memposting kenangan dan quotes tentang kehebatan seorang ibu, saya malah mengingat satu kejadian yang membuat saya ‘dendam’ sama ibu saya.

Menjadi Titisan Dewa Shiva

Jadi ceritanya bermula saat saya masih kecil, lucu, dan polos, plus sangat aktif dan begidhakan. Tingkah polah saya kerap kali memakan korban barang-barang yang ada di rumah.

Mulai TV, vas bunga kesayangan ibu, dan tak terhitung lagi. Saya bahkan pernah menggulingkan gerobak es milik penjual es krim keliling Campina.

Sangking banyaknya barang-barang yang rusak di tangan saya, ibu pernah sambil bercanda (buat beliau sih itu bercanda) kalau saya itu seperti Dewa Shiva, Dewa Penghancur yang ada di legenda Hindu.

Kebetulan dulu waktu kecil emang nontonnya Mahabarata & Rama dan Shinta.

Sejak saat itu, nggak tahu kenapa, saya seperti benar-benar percaya kalau saya adalah sang perusak. Dan banyak sih kasus di mana barang yang tadinya sehat walafiat, mendadak sekarat setelah terkena sentuhan ‘ajaib’ saya. Padahal ada kalanya saya yakin seyakin-yakinnya kalau barang itu nggak saya apa-apain.

Semakin hari, semakin sering saya ngerusakkin barang dan tiap kali saya berhasil merusak sesuatu, ibu selalu merayakan dengan mengatakan, “Nah toh” membuat saya tanpa sadar mengamini kalau saya adalah titisan Dewa Shiva.

Hingga saat ini pun, sehati-hatinya saya merawat barang-barang saya, selalu saja ada momen yang entah bagaimana, membuat barang itu malfungsi.

Hal ini tak ayal membuat saya menyalahkan ibu saya. Pikir saya, semua ini karena ibu dulu ‘mendoakan’ saya lewat becandanya yang nggak lucu itu.

Dan saya bersumpah, suatu hari nanti ketika saya punya anak, saya tidak akan membiarkan siapa pun melabel anak saya ini dan itu. Bahkan saya tegas sampaikan ke istri saya, kalau saya nggak akan diam jika tanpa sengaja saya mendengar istri saya memberikan label kata sifat tertentu ke anak saya.

Sangking getemnya saya dengan perlakuan ibu kepada saya.

Lain Ibu, Lain Pula Ayah…

Berbeda dengan ibu yang lebih suka menggunakan kata-kata yang ‘menyerang’, ayah saya lebih ringan…tangannya. Dipadu dengan kata-kata makian yang straight to the point.

Saya ingat sekali pada suatu waktu, saat diminta ayah membantu menyelesaikan PR-nya, ada sebuah penjelasan logis yang saya kurang mengerti. Mana kemampuan logika saya memang buruk sekali pula.

Eh, sepertinya waktu itu berhubungan dengan hitungan matematik deh.

Melihat kelemotan saya dalam memahami maksud dan penjelasannya, tanpa tedeng aling-aling, ayah saya dengan mantap menghujat, “Goblok!!”

Dan, seketika itu pula ia sukses meluluhlantahkan tingkat kepercayaan diri saya dari level 2 ke level -58.

Selain hujatan yang tunjek poin, saya juga mengingat dengan baik betapa ringannya tangan beliau kala itu. Sampai-sampai semilir angin sepoi-sepoi saja sudah cukup menggerakkan tangan itu mendarat di wajah, badan, hingga kaki saya.

Begitu dahsyatnya perilaku ayah sampai-sampai ada satu titik ketika saya baru selesai beliau hajar, saya menengadah ke langit senja dan berucap, “Tuhan, jika Engkau ingin mengambilnya kembali ke sisi-Mu, ambillah saja.”

Menjadi Orang Tua Yang Lebih Baik

Apakah saya membenci kedua orang tua saya dengan apa yang mereka telah lakukan selama ini? Tentu saja.

Kebencian yang teramat dalam membuat saya bersumpah pada diri saya sendiri bahwa saya akan menjadi orang tua yang lebih baik dari mereka. Saya nggak akan melabel anak saya macam-macam, tidak pula membentak mau pun memukulnya. Sekali pun katanya, kalau orang tua marahin anaknya, itu yang mereka marahin adalah setan yang sedang menghinggapi sang anak.

Namun, kenyataan ternyata tak berjalan sesuai keinginan. Visi ambisius untuk menjadi orang tua yang lebih baik, perlahan mulai luntur seiring dengan kesibukan-kesibukan oleh tuntutan dan kewajiban yang datang silih berganti.

Stok kesabaran yang dulu seolah tanpa batas untuk menghadapi tingkah polah Fabio, semakin menipis tiap harinya.

Dan, tanpa saya sadari, ternyata saya telah mengulang pola pengasuhan orang tua saya yang saya benci setengah mati itu.

Walaupun saya tidak pernah secara verbal melabel Fabio, tetapi secara mental saya sering memperlakukan anak saya sebagai anak yang tak berdaya tanpa bantuan saya. Berpikir kalau dia akan menjatuhkan piring yang dia bawa sendiri ke tempat cuci, curiga kalau dia nggak merawat mainannya dengan baik sehingga rusak hanya dalam waktu beberapa hari setelah dibelikan.

Karena kewaspaadaan tingkat tinggi (baca: parno) ini juga, yang akhirnya membuat saya tanpa sadar sering membentak, mengancam, dan menegur dia ketika melakukan sesuatu yang ‘biasanya nggak gitu’. Walaupun, pada akhirnya cara itu juga nggak berbahaya yang gimana gitu.

Impian saya menjadi orang tua yang lebih baik, bertolak belakang dengan cara saya memperlakukan Fabio sehari-hari. Saya tahu, hanya saja kadang sulit untuk mengendalikan diri, membiarkannya mengeskplorasi dunianya, dan hanya ada di sisinya untuk berjaga bila terjadi kemungkinan terburuk. Lebih mudah melarangnya melakukan sesuatu dengan cara yang nggak umum, menyuruhnya patuh dan nggak usah aneh-aneh.

Apakah ketakutan saya melihat anak saya melakukan kesalahan yang membuat saya seperti ini? Karena saya seolah melihat diri saya sendiri yang melakukan kesalahan. Pikir saya, kalau dia nggak melakukan kesalahan, dia nggak perlu menanggung konsekuensinya karena saya tahu itu tidak menyenangkan.

I just want to protect him to be like me, because I know, being me is suck.

Sekarang saya sadar bahwa saya ternyata tidak lebih baik dari orang tua saya dahulu. Bahkan sepertinya, saya jauh lebih buruk dari orang tua saya dulu. Walaupun, Fabio adalah anak yang sangat berbeda dari saya. Dia baik, cerdas, pandai, dan sangat menyayangi kedua orang tuanya. Namun, alih-alih memperlakukannya seperti dirinya, saya malah memperlakukannya seperti saya dan segudang ketidaksempurnaan yang saya miliki.

--

--