Seriously.
Itu yang saya alami ketika memulai bullet journalling. Alih-alih membantu saya meningkatkan produktivitas atau pun membuat hidup saya lebih tertata, yang ada malah bolak-balik-bolak ganti buku/jurnal, desain konten, dan hal-hal non esensial lainnya dari bullet journal.
Mulai coba-coba menggunakan buku kotak (biar gampang bikin layout-nya) sampai pakai dotted seperti para bujoist pada umumnya. Nothing works as they said.
Pertanyaannya, apa yang salah?
Kemudian, saya mencoba untuk taking few steps back, belajar memahami apa sih bullet journal melalui si foundernya, Ryder Carroll di situs resminya.
Ternyata, bullet journal itu nggak seribet dan se-fancy yang saya kira. Di sebuah artikelnya, mas Ryder menceritakan bahwa tidak ada cara yang benar atau salah dalam melakukan bullet journalling. Your bullet journal is yours. Nggak masalah kalau jurnal kita nggak seheboh bujo-bujo yang beredar di Instagram. As a matter of fact, kita nggak perlu juga publish isi jurnal kita ke khalayak ramai. Ya walaupun mau di-share juga nggak dosa sih.
Yang terpenting adalah the what & the why kita melakukan bullet journal.
Sementara untuk how-nya, pada dasarnya bullet journal hanya ada 4 bagian,
- Index alias table of content a.k.a daftar isi, supaya kita tahu ada di halaman berapa note yang kita cari;
- Future Log, untuk mencatat kejadian-kejadian penting di masa depan (e.g. ultah pasangan);
- Weekly/Daily Log;
- Collections, seperti habit tracker, income tracker, dll.
Bentuk atau layoutnya pun nggak harus yang artistik or futuristik juga sih. Ada kok versi simpel dan minimalis yang bisa kita tiru.
Yang penting fungsinya.
Saya sendiri, saat ini menggunakan buku hardcover yang biasa dipakai bapak-bapak tukang tagih iuran tenan di pasar. Not fancy, yes. But so far it works.